Beberapa hari ini perhatian, energi dan perasaan kita -
khususnya yang tinggal di Jadebotabek seperti saya - turut tersedot dengan
urusan banjir yang kembali melanda Jakarta dan sekitarnya.
Genangan, kemacetan, udara dingin, sakit, pengungsian dan
lain-lain adalah penggalan-penggalan cerita yang menyertai banjir, sebuah
episode yang sepertinya semakin setia mendatangi ibu kota setiap tahunnya.
Selama weekend kemarin mencoba menyusuri wilayah-wilayah banjir
di Bekasi, Bukit Duri, Sunter dan Kelapa Gading…Ada perasaan prihatian tapi
sekaligus juga bangga.
Bahwa dibalik kesulitan-kesulitan akibat banjir, masih terlihat
wajah-wajah ceria anak-anak yang bermain di genangan air.
Bahwa diantara penderitaan para pengungsi ternyata masih banyak
relawan perorangan yang hadir, baik secara berkelompok bersama teman ataupun
satu keluarga yang mendatangi wilayah banjir dengan membawa bantuan apapun yang
bisa mereka berikan.
Selalu ada harapan dibalik kesulitan, banyak hikmah yang
berserakan untuk kita ambil sebagai sebuah pelajaran.
Kemudian, rasa salut kepada teman-teman di TAFS yang secara spontan
berkoordinasi dan bergerak untuk mengumpulkan dana sejak hari Sabtu kemarin,
kemudian mencoba berbuat sesuatu untuk sedikit meringankan beban mereka yang
sedang kesulitan. Alhamdulillah dalam kurang dari 2 hari sudah terkumpul dana
belasan juta rupiah, baik dari karyawan TAFS maupun beberapa teman dari
komunitas di luar yang turut membantu, dan sepertinya akan terus bertambah lagi
mengingat hujan dan banjir masih belum ada tanda-tanda segera usai.
Hari Minggu kemarin penyaluran sebagian dana tersebut sudah
mulai dilakukan dengan menyiapkan dan membagikan 200 nasi bungkus di wilayah
Bukit Duri yang cukup parah diterjang banjir.
Mungkin terlalu kecil untuk bisa meringankan beban orang-orang
yang terkena dampak banjir tersebut, tapi semangat kecil ini diharapkan menjadi
langkah awal yang harus terus bergulir.
Teman-teman juga dengan bersemangat kemarin sudah mulai
berbelanja kebutuhan sehari-hari untuk para korban banjir seperti makanan
instan, kebutuhan bayi serta obat-obatan untuk kembali dibagikan hari ini.
Sebuah keperdulian spontan yang harus tetap dijaga dan kita
tularkan, sebagai bagian dari semangat kemanusiaan….
Prihatin saja tidaklah cukup, kita perlu berbuat sesuatu. Inilah
saatnya berbagi, saatnya untuk peduli…mari Turun Tangan !
Salam,
Yadid
Bagi yang ingin berpartisipasi dana, silahkan melakukan transfer
ke rekening Permata : 970061959 atas nama Dina Dwi Indriana.
Bagi yang ingin terlibat dalam penyerahan bantuan, silahkan
menghubungi Tiar dan Teddy.
Sebagai intermezzo di luar urusan banjir, saya copy tulisan
Dahlan Iskan ini untuk memberikan semangat dan optimisme kita akan Indonesia.
Seperti yang ingin saya kutip juga dari Anies Baswedan “Teruslah
berharap, jangan meratap”.
Jendral Semut
Kebanggaan Bangsa
Salah satu masalah
yang harus langsung saya hadapi saat diangkat menjadi Menteri BUMN di akhir
tahun 2011 lalu, adalah ini: mencari orang yang harus menggantikan Direktur
Utama Perum Bulog saat itu, Sutarto Alimoeso.
Dia oleh banyak
kalangan dinilai kurang baik kinerjanya. Namanya sudah resmi diusulkan untuk
diganti.
Maka saya pun
mulai memilah dan memilih. Terpikir oleh saya untuk mengangkat pak Sofyan
Basyir menjadi Dirut Bulog. Tapi saya merasa alangkah sayangnya kalau pak
Sofyan Basyir harus meninggalkan jabatannya sebagai Direktur Utama Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Padahal BRI lagi semangat-semangatnya untuk mengembangkan
diri. Terutama untuk menjadi micro banking terbesar di dunia.
Secara pribadi
saya juga kasihan kalau dirut bank besar harus turun kelas, meski tugas negara
lagi memerlukannya untuk penyelamatan kecukupan pangan. Tapi akhirnya saya
putuskan: jangan pak Sofyan Basyir. Beliau harus mewujudkan mimpi besarnya yang
tak lain juga mimpi besar kita semua.
Lalu terlintas
juga nama Arifin Tasrif, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia. Tapi dia lagi
melakukan pembenahan total di lima pabrik pupuk kita. Pembenahan bidang pupuk
juga sangat strategis. Maka saya pun segera melupakan nama Arifin Tasrif.
Di balik sulitnya
mencari calon pengganti pak Sutarto itulah saya “kembali ke laptop”: apakah
benar Sutarto harus diganti? Mengapa? Kinerja apa yang kurang? Kurang puas di
bagian mananya?
Berdasarkah
pertanyaan-pertanyaan itu saya memutuskan ini: bertemu dulu dengan orang yang
namanya Sutarto itu. Saya akan bicara dengan dia dan mencari tahu mengapa
kinerjanya dinilai kurang baik.
Dari diskusi itu
saya mengambil kesimpulan: orang ini tidak perlu diganti. Orang ini lurus,
punya integritas. Mencari orang yang berintegritas lebih sulit daripada mencari
orang pandai. Mencari orang jujur lebih sulit dari mencari orang pintar.
Saya juga melihat
orang ini penampilannya sederhana, tidak tampak hedonis dan punya semangat
menyala-nyala. Memang penampilannya mengesankan “gaya orang tua”. Tapi saya
bisa menangkap api yang menyala dari mata, kepala, dan hatinya.
Gurat-gurat wajah
dan ototnya mencerminkan bukan orang yang bossy di belakang meja.
Yang lebih penting
lagi saya memperoleh track record-nya yang cemerlang. Saat menjabat sebagai
Dirjen Tanaman Pangan, pak Tarto membukukan prestasi istimewa: indonesia
memproduksi beras tertinggi dalam sejarah republik ini.
Keputusan saya
kian bulat: orang ini jangan diganti. Beri dia iklim manajemen yang baik. Beri
dia keleluasaan yang memadai. Beri dia kebebasan yang cukup untuk mengembangkan
ambisinya memimpin Bulog. Tentu saya harus menyampaikan putusan saya itu kepada
Bapak Presiden SBY.
Dalam kesempatan
pertama bertemu Pak SBY saya bicara soal Bulog. “Bapak Presiden, sebaiknya saya
tidak mengganti Dirut Bulog. Saya minta diberi waktu untuk membuktikan sendiri
apakah dia benar-benar tidak mampu”, kata saya.
“Pak Dahlan,” kata
Bapak Presiden, “Saya serahkan kepada Pak Dahlan untuk mengambil keputusan
terbaik.” Kata beliau lagi: “Dulu saya setuju diganti karena saya tidak ingin
dinilai mempertahankan teman sekolah saya. Kalau selama ini saya menyetujui pak
Tarto diganti itu karena beliau adik kelas saya di SMA di Pacitan.”
Saya pun pamit.
Maunya sih berlama-lama di halaman belakang Istana Cipanas yang sejuk dan indah
itu, tapi puncak Gunung Gede yang mengawal Istana itu seperti melarang saya
berlama-lama di situ.
Apa kata Pak
Tarto? “Saya akan buktikan saya bisa,” ujar dia saat saya beritahu bahwa dia
tidak jadi diganti.
Pembicaraan itu
kini sudah berlangsung dua tahun. Pak Tarto memenuhi janjinya. Saya sangat
senang. Usaha saya mempertahankannya tidak memalukan saya. Bahkan membuat
bangga. Bukan saja untuk saya pribadi tapi juga membanggakan bangsa Indonesia.
Maka tutup tahun 2013 lalu saya menulis di rubrik Manufacturing Hope dengan
tema kebanggaan itu.
“Inilah berita
yang paling menggembirakan bagi bangsa Indonesia di akhir tahun 2013 ini:
Indonesia berhasil tidak impor beras lagi. Ini karena pengadaan beras oleh
Bulog mencapai angka tertinggi dalam sejarah Bulog. Sampai tanggal 25 Desember
kemarin Bulog berhasil membeli beras petani sebanyak 3,5 juta ton,” begitu
tulis saya di pembukaan kolom itu.
Sofyan Basyir
sendiri terus all out membesarkan BRI. Tahun 2012 laba BRI mengalahkan Bank
Mandiri: 18 triliun rupiah. Tahun lalu meningkat lagi menjadi Rp 21 triliun.
Pak Sofyan benar-benar berhasil menjadikan BRI micro banking terbesar di dunia!
Alangkah sayangnya bila waktu itu dia pindah ke Bulog.
Memang, begitu ada
kepastian tidak diganti, Soetarto langsung tancap gas. Dia bentuk pasukan semut
untuk all out membeli beras dari petani. Dia sendiri menjadi jenderalnya.
Jenderal Semut. Dia tidak henti-hentinya menjadi kipas angin: muter terus. Dari
satu daerah ke daerah lain. Dari satu gudang ke gudang Bulog yang lain.
Hasilnya pun
nyata. Gudang-gudang Bulog segera penuh. Harga beras stabil. Kalau sampai harga
beras ikut melonjak-lonjak seperti daging dan kedelai maka perekonomian kita
kian sulit. Pak Tarto berhasil menjaga gawang salah satu pilar perekonomian
kita.
Yang saya juga
bangga pada Pak Tarto adalah gaya hidupnya yang tetap sederhana dan rendah
hati. Dan itu bisa mewarnai manajemen Bulog. Saya begitu berbunga-bunga ketika
ke Brebes mendapat laporan ini: Kepala Gudang Bulog tidak bisa lagi disogok!
Beras yang masuk ke gudang Bulog harus tepat mutu dan timbangannya.
Saya senang karena
yang bicara ini orang luar yang telah lama menjadi pemasok beras Bulog. Dia
bisa membedakan kondisi dulu dan setelah Pak Tarto menangani Bulog.
Kerja kerasnya
tidak hanya dilakukan di hari kerja tapi juga di hari-hari weekend. Tidak
jarang dia lagi di lapangan ketika saya telepon di Sabtu malam.
Pak Tarto termasuk
yang tidak suka berwacana. Kita memang tidak bisa mengatasi masalah hanya
dengan ngomel-ngomel. Hanya rapat-rapat. Hanya berwacana. Kita harus berbuat
sesuatu. Dan ternyata bisa.
Tahun 2013 kita
tidak perlu lagi impor beras. Sutarto menegaskan stok beras di gudang Bulog
akhir tahun ini lebih dari dua juta ton.
Pak Tarto memang
termasuk sedikit generasi tua di BUMN yang tidak mau kalah dengan generasi yang
lebih muda. Dia masih kuat seperti kitiran: muter terus ke gudang-gudang Bulog
di seluruh sentra produksi beras. Belakangan dia juga mengganti sepatunya.
Dengan sepatu ketsnya, Pak Tarto sering harus bermalam minggu di gudang beras.
Dengan stok beras
nasional yang berlebih seperti itu memang ada juga negatifnya: kalau lama tidak
disalurkan, kualitas berasnya menurun. Untuk itu saya menerima usulan menarik
dari seorang petani di sebuah desa di Bantul. Tahun depan sebaiknya sebagian
pengadaan beras Bulog berupa gabah. Agar bisa disimpan lebih lama.
Ide yang bagus dan
yang aplikatif dari seorang petani kecil. Tahun depan ide itu benar-benar akan
dilaksanakan oleh Bulog. Sekitar 20 persen pengadaan Bulog akan berupa gabah.
Ini lebih realistis dan hemat daripada membangun silo-silo vakum yang amat
mahal.
Begitu lega
rasanya tutup tahun kemarin ditandai dengan keberhasilan tidak impor beras
selama tahun 2013.
Tapi kelegaan itu
tidak boleh lama-lama. Tahun 2014 harus bisa bertahan tidak impor beras lagi.
Artinya: Bulog dengan pasukan semutnya, di bawah pimpinan Jenderal Semut
Surtarto Alimoeso tetap harus segera kerja, kerja, kerja.
Oleh
Dahlan Iskan
Menteri BUMN
Menteri BUMN
No comments:
Post a Comment